Istilah globalisasi sudah memasyarakat di Indonesia sejak awal dekade 1990 an seiring dengan popularitas tulisan Alvin toffler, Powershift (1990), I dan dua tulisan JOHN NAISBITT, Megatrens 2000 (1990) dan Global Paradox (1994). Globalisasi
yang dapat diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia
antar individu, bangsa, negara dan berbagai organisasi kemasyarakatan,
didukung oleh alat komunikasi yang berteknologi tinggi dan semakin
kuatnya pengaruh politik, ekonomi,
dan nilai-nilai sosial-budaya. Globalisasi dalam berbagai bentuknya
telah mengubah kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Era globalisasi
menimbulkan tantangan besar yang harus dihadapi setiap masyarakat baik
dalam masa kini maupun dalam masa datang.
Pengaruh utama dari proses-proses globalisasi adalah keterbukaan,
demokratis, dan persaingan dalam konteks kerja sama, dominasi kecerdasan
intelektual (rasio atau nalar), dan sekularisme. Proses asimilasi
sudah mulai terlihat sejak dekade terakhir abad ke-20 (Naisbit,
1995:88) sebagai bagian dari globalisasi, pengaruh Asia, terutama Asia
Timur, Selatan dan Tenggara menjadi semakin kuat dan mendunia. Perubahan
mendasar yang dibawa proses ini adalah percaya diri Asia yang semakin
kuat dan pengaruh budaya Asia ke Barat dan Bagian dunia lainnya.
Beberapa pengaruh utama dari proses sistem informasi
yang semakin canggih adalah semakin sarat-derasnya arus informasi,
perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional, simplifikasi,
efisiensi, dan efektivitas dalam komunikasi, bahasa menjadi kebutuhan
pokok, kemandirian memperoleh pengetahuan, dan perubahan sifat lembaga
pendidikan (Tampubolon, 2001:11).
Hakikat manusia sebagai mahluk sosial,
kebutuhan ekonomi, dan tersedianya sarana komunikasi dan transportasi
modern merupakan tiga faktor penting yang saling berkaitan dan sekaligus
mendorong terbentuknya wadah kerja sama regional dan global. Pengaruh
globalisasi komunikasi dan informasi telah mengubah pola aliran
informasi secara mendasar. Globalisasi ekonomi ditandai dengan pasar
bebas, arus barang, jasa dan tenaga ahli akan melintasi batas negara
mengalami hambatan. Beberapa bentuk wadah kerja sama regional dan
global dalam bidang ekonomi adalah Asosiasi Perdagangan Bebas Asia (AFTA), asosiasi perdagangan Dunia (WTO). Meskipun terlibat dalam wadah kerja sama, namun persaingan justru semakin ketat.
Untuk menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan dituntut untuk
semakin berperan dalam memberikan pelayanan, khususnya menghasilkan
lulusan yang memiliki keunggulan dan mampu bersaing dalam situasi
global. Sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan daya saing
tingkat tinggi, terutama yang dicapai melalui sistem pendidikan yang
bermutu, merupakan faktor yang paling menentukan untuk dapat memenangkan
persaingan dalam era globalisasi.
Uraian-uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan lembaga
pendidikan dalam menghasilkan tenaga-tenaga akademik maupun profesional
untuk merespon berbagai tantangan kehidupan dalam era globalisasi.
Zamroni (2000:90) mengemukakan bahwa permasalahan mulai dari krisis
moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa
Indonesia merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret
dalam arus globalisasi.
Salah satu upaya untuk merespon dampak globalisasi adalah pentingnya
mempertimbangkan suatu paradigma baru bagi pendidikan (Sidi, 2003:
23-25). Untuk menuju suatu masyarakat belajar (Learning Society), pendidikan yang lebih berorientasi pada teaching (mengajar) menjadi lebih berorientasi pada learning (belajar). Paradigma Learning ini jelas terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO, yaitu, belajar berpikir (Learning to know), belajar keterampilan dalam kehidupan (Learning to do), belajar hidup bersama (Learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (Learning to be).
Oleh karena itu, reformasi pendidikan harus dilakukan untuk memenuhi
isu manajemen pendidikan yang sesuai dengan tuntutan globalisasi, paling
sedikit ada tiga pandangan filosofis yang dapat digunakan untuk
menjelaskan pengembangan atau reformasi pendidikan (Berquist, 1995),
yaitu elistisme, populisme, dan integralisme. Elitisme memandang bahwa
pendidikan sangat penting terutama untuk mempertahankan tradisi
kebangsawanan dan penyebaran agama, dan tujuan adalah mutu, bukan
pemerataan. Elitisme modern memandang bahwa mutu tidak semata-mata
berkaitan dengan keuangan, melainkan mutu dikaitkan dengan pemerataan,
kelompok elit adalah kelompok the have. Dalam elitisme modern,
pembatasan memperoleh pendidikan bukan lagi didasari faktor keturunan
yang berkaitan dengan status sosial, melainkan pada kemampuan akademik
dan kemampuan mutu, tetapi kemampuan khususnya kurang dalam pembiayaan.
Karena itu, di samping kemampuan akademik, kemampuan ekonomi menjadi
satu sarat penting dalam penerimaan siswa baru.
Pandangan kedua, populisme, timbul dan berkembang dalam era modern
masyarakat industri. Setelah revolusi industri, berkembang liberalisme
yang mendorong perkembangan demokrasi, egalitarianisme, Individualisme
dan sekularisme. Populasi memandang bahwa pendidikan harus diberikan
kepada semua warga masyarakat. Tujuan utama pendidikan adalah pemerataan
untuk merespon tuntutan industrialisasi.
Pandangan ketiga, integralisme, timbul dan berkembang dalam dekade
akhir era modern dan terus berkembang dalam era pasca industri (pascamodern).
Penyelenggaraan pendidikan menurut pandangan ini bertujuan untuk mutu
dan pemerataan. Keduanya harus terpadu atau terintegritaskan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Mutu berarti kesesuaian dengan kebutuhan.
mutu pendidikan adalah kesesuaian produknya dengan kebutuhan siswa,
masyarakat dan dunia kerja.
Reformasi pendidikan, khususnya bidang kejuruan menuntut suatu
kerangka berpikir baru atau paradigma baru dalam manajemen pendidikan,
tujuan paradigma baru dalam manajemen pendidikan adalah untuk
meningkatkan mutu dengan memasukkan asas otonomi pendidikan untuk
membuat sistemnya menjadi lebih dinamis, akuntabilitas agar otonomi
terselenggarakan secara bertanggung jawab, akreditasi untuk menjamin
mutu lulusan, dan evaluasi diri agar proses pengambilan keputusan dalam
perencanaan atas data dan informasi empiris (Jalal & Supriadi,
2001:363).
Pendidikan yang bermutu mempersiapkan SDM yang bermutu mutlak
diperlukan untuk merespon tantangan kehidupan abad ke-21. Dalam konteks
ini perlu diimplementasikan paradigma baru pendidikan. Dalam
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu hendaknya diaplikasikan asas
integralisme dan prinsip-prinsip filosofis total quality management (TOM) atau manajemen mutu
terpadu (MMT). Hal ini sejalan dengan kebijakan pembaharuan atau
reformasi pendidikan yang ditetapkan MPR dalam GBHN 2009, (1) mutu dan
pemetaan sama-sama diperhatikan; (2) pemberdayaan lembaga-lembaga
pendidikan dilaksanakan dengan mengingatkan anggaran pendidikan secara
berarti, termasuk kesejahteraan para guru, dan (3) program-program
pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, nasional, regional dan
global.
Dalam penerapan prinsip-prinsip Filosofis Manajemen Mutu Terpadu
(MMT), terkandung pengertian-pengertian seperti tersajikan dalam kutipan
di bawah ini: (1) Peningkatan mutu dan pemerataan diupayakan terpadu
dan berkesinambungan; (2) Mutu diartikan sebagai kesesuaian sifat-sifat
produk dengan kebutuhan pelanggan; (3) Rencana mutu didasarkan pada
visi, misi dan kebutuhan obyektif pelanggan; (4) Sistem dan proses
menjadi fokus menghasilkan produk, bukan produk itu sendiri; (5) Sifat
pelayanan sangat diutamakan; (6) Pemberdayaan SDM secara bermutu sangat
penting dengan mengembangkan situasi menang-menang (win-win solution);
(7) Partisipasi aktif semua pihak terkait melalui tim-tim kerja sama
dalam organisasi; (8) Keberagaman diakomodasi dalam konteks keterpaduan
dan tim kerja sama; (9) Kepemimpinan yang bermutu merupakan faktor
penentu keberhasilan (Tampubolon, 2001:36).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar