Rabu, 30 April 2014

PENYEBAB MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA


Jika dicermati dengan serius, beberapa masalah yang muncul dapat diteliti dan ditemukan penyebabnya.
1. Berkaitan dengan Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik dituntut untuk dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Efektifitas pendidikan di Indonesia dinilai sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.

2. Berkaitan dengan Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisiensi berkaitan dengan ketercapaian tujuan dikaitkan dengan sarana, biaya dan waktu yang digunakan. Pembelajaran dikatakan efisien jika tujuan tercapai dengan sarana, biaya dan waktu yang minimal. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, kualitas pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain pendidikan di Indonesia tidak efisien, dan penyebab terbesar adalah pola manajemen yang lemah. Yang perlu dibangun manajemen meliputi SDM, keuangan, kurikulum serta bidang-bidang lainnya.


3. Berkaitan dengan Standarisasi Pendidikan
Secara umum dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan di Indonesia selama ini belum memiliki standar yang jelas. Sekolah yang baik, seperti apa, masih mengandung subyektivitas tinggi. JIka selama ini lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia masih dinilai rendah oleh dunia tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan lembaga-lembaga yang tersebar di wilayah territorial yang sangat beragam.
Meski pemerintah telah mengeluarkan produk hokum berkaitan dengan Standar Nasional Pendidikan tidak berarti masalah selesai. Ujian Nasional sebagai salah satu langkah pemetaan kualitas pendidikan masih harus dievaluasi secara jujur dan tuntas.

Di samping berkaitan dengan standarisasi pendidikan, efektivitas dan efisiensi, keterpurukan kualitas pendidikan disebabkan beberapa hal berikut:

(1) Rendahnya sarana fisik.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan prosentase yang tidak sama.

(2) Rendahnya kualitas guru.
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

(3) Rendahnya kesejahteraan guru.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Guru-guru PNS secara umum pada masa sekarang telah memeiliki kesejahteraan memadai, apalagi yang telah lulus sertifikasi. Namun guru-guru swasta yang jumlahnya tak kalah banyak dengan PNS nasibnya belum banyak berubah. Sebagaian yang telah lulus sertifikasi telah mendapat perbaikan penghasilan, namun sisanya masih jauh lebih besar.

(4) Rendahnya prestasi siswa.
Rendahnya prestasi peserta didik berkaitan erat dengan kelemahan sarana fisik dan kualitas guru.Sebagai gambaran umum, pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

(5) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Data tahun 2009 telah menunjukkan perkembangan menggembirakan. Angka Partisipasi kasar (APK) tingkat SMP telah mencapai 98,11% (Buku panduan BOS 2010).

(6) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

(7) Mahalnya biaya pendidikan.
Meski pemerintah mencanangkan pendidikan gratis, untuk beberapa kalangan pendidikan masih dinilai mahal. Setidaknya jika dibanding dengan Negara tetangga, Malaysia. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Kalaupun mereka dapat bersekolah, tidak mampu memilih sekolah berkualuitas. Kini SD dan SMP negeri gratis! Namun keberadaan RSBI dan SBI yang masih dimungkinkan memungut iuran dari orangtua justru berpotensi membuat pembedaan perlakuan. Yang dapat masuk, hanya yang mampu membayar tinggi. Belum lagi sekolah-sekolah swasta, yang mematok biaya tinggi. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar