Dalam
Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti
membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
pancasila. Dalam membimbing anak didiknya Ki Hajar Dewantara
mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani.
Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik
tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam
konteks ini.
Pertama,
guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah
Sunda yang akrab ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti
dan diteladani). Pepatah ini harus diperhatikan oleh guru sebagai
tenaga pendidik. Guru adalah contoh nyata bagi anak didiknya. Semua
tingkah laku guru hendaknya jadi teladan. Menurut Nurzaman (2005:3),
keteladanan seorang guru merupakan perwujudan realisasi kegiatan belajr
mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa. Seorang
guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap siswa.
Sebaliknya, seorang guru yang bersikap premanisme akan berpengaruh buruk
terhadap sikap dan moral
siswa. Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru
harus dapat mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan
kritikan, dan menghargai pendapat orang lain.
Kedua,
guru harus dapat mempengaruhi dan mengendalikan anak didiknya. Dalam
hal ini, prilaku dan pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk
mengubah prilaku peserta didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang
yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi ‘teman’ bagi peserta didik
tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu
guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan peserta didik.
Ketiga,
hendaknya guru menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa.
Bagi seorang guru, keberagaman siswa yang dihadapinya adalah sebuah
wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru
akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan
perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi perkembangan
peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangan peserta didik
(Kartadinata, 2004:4).
Semua
kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan
sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus
terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku mendidik.
Sementara
itu, prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia
sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta
didik tidak hanya dituntut berlimu pengetahuan tinggi, tetapi harus
bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya
mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga
harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani,
rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat
pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat
menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.
Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus
patuh pada kehendak dan kemauan guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar