Minggu, 15 Juni 2014

Memperbaiki Sistem Pendidikan Indonesia

Oleh: Melisa Febriana Panjaitan, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu negara, termasuk Indonesia.
Karena itulah sistem pendidikan di Indonesia terus mengalami perbaikan demi perbaikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.  Hal ini tentu saja dilakukan demi terwujudnya mimpi Indonesia memiliki generasi penerus bangsa berkualitas yang menjadi pembangun masa depan negeri ini.
Para orangtuapun kini sadar betul pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Tidak cukup hingga di bangku sekolah menengah atas, hampir semua orangtua masa kini menginginkan anaknya mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi.  Ya, pendidikan memang sangat penting bagi kemajuan setiap individu maupun suatu bangsa itu sendiri. Namun pertanyaannya, apakah usaha pemerintah dan para orangtua tersebut sudah mampu menghasilkan individu terdidik yang berkualitas?
Seperti yang dikutip dari dikti.go.id, sistem pendidikan di Indonesia telah berubah sebanyak kurang lebih tiga kali sejak tahun 1947.   Perubahan sistem pendidikan ini terkait dengan perubahan materi belajar, peningkatan kualitas guru dan perubahan sistem kelulusan.
Pada tahun 2004, pemerintah  menetapkan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang kemudian berganti nama menjadi Ujian Nasional (UN) untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang pelajar dengan standar nilai kelulusan yang telah ditetapkan sebagai pengukurnya. 

Tidak sedikit yang merasa sistem seperti ini kurang tepat karena kelulusan seorang siswa hanya didasarkan pada satu aspek saja.  Padahal proses selama belajar mengajar merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan pengaruhnya dalam menilai kelulusan seorang pelajar.
Masih teringat jelas ketika Alex Arida juara olimpiade fisika atau Dwi Astuti yang meraih perungu pada olimpiade nasional bidang ekonomi yang harus tunduk pada sistem pendidikan Indonesia dan dinyatakan tidak lulus UN.  Mereka berdua dapat dijadikan contoh betapa gegabahnya sistem pendidikan yang hanya menilai dari hasil tanpa mempertimbangkan proses.
Melihat dari usaha pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini sendiri tidak lepas dari segala carut marut di dalamnya.  Dari UN saja, kerumitan mulai terjadi ketika pembuatan hingga distribusi soal ujian.
Belum lagi ancaman kebocoran soal dan oknum-oknum yang menjual soal UN.  Bahkan dalam tiap pelaksanaannya beberapa sekolah harus menunda UN karena distribusi yang terlambat.  Semua kerumitan di awal ini belum termasuk ujian ulang yang harus diadakan lagi oleh pemerintah untuk ratusan pelajar yang tidak lulus UN.
Perbaikan sistem kurikulum juga dapat dikatakan tidak pernah lepas dari kerumitan dalam pelaksanaan maupun pengaplikasiannya.  Padahal, anggaran yang disediakan untuk perbaikan kurikulum pendidikan dapat mencapai milyaran rupiah.  Pertanyaannya sekarang adalah mengapa semua usaha pemerintah ini belum berhasil membuat perubahan signifikan dalam pendidikan Indonesia.
Sistem pendidikan Indonesia sendiri dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang begitu mendewakan kemampuan hard skill atau yang sifatnya akademis.  Hampir seluruh sekolah di penjuru negeri ini memiliki materi pelajaran yang sama yang diajarkan di kelas yaitu materi yang sifatnya akademis dan sedikit sekali materi yang sifatnya soft skill.
Padahal soft skill atau pendidikan karakter sangat penting dimiliki oleh setiap individu dan akan lebih baik jika diajarkan sedini mungkin.  Soft skill tidak bisa diremehkan karena erat kaitannya dengan moral bahkan kesehatan fisik dan rohani anak di masa depan.
Hard skill yang tidak diimbangi dengan soft skill dapat menghasilkan efek merusak baik bagi individu itu sendiri maupun orang lain.  Para koruptor di kalangan wakil rakyat dan pangusaha perusak lingkungan adalah contoh kecil individu terdidik (hard skill) yang tidak memiliki karakter (soft skill).
Tidak sadar pentingnya soft skill untuk berdampingan dengan hard skill dalam mendidik ini hampir sama seperti tidak menyadari bahwa otak kanan dan otak kiri mempunyai peran yang berbeda bagi setiap orang.
Materi pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah setiap hari dapat dikatakan hanya menggempur otak di bagian kiri yang berkaitan dengan akademis, sedangkan otak bagian kanan yang menghasilkan ide-ide kreatif harus tertidur lesu.
Memberbaiki sistem pendidikan yang kaku dan rumit dari segala sisinya membuat kesan bahwa hal ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi.  Namun, bukan berarti hal itu tidak bisa diperbaiki lagi.  Perbaikan secara berkala namun efektif adalah yang paling jitu untuk memperbaiki sistem pendidikan Indonesia.
Pemerintah harus mulai memahami pentingnya pendidikan karakter (soft skill) bagi para pelajar.  Pemerintah tentu tidak ingin terus memproduksi para penjabat atau wakil pemerintahan yang gila harta sehingga melakukan korupsi atau para pengusaha yang pura-pura buta terhadap kerusakan yang mereka timbulkan.
Selain itu, pentingnya menambah materi pelajaran kreatif di sela-sela materi reguler yang telah ada menjadi sangat penting sehingga setiap anak merasa mereka selalu memiliki pilihan.
Jutaan pelajar di Indonesia tentu saja memiliki minat yang berbeda-beda.  Ini adalah saatnya otak kanan dibangunkan untuk mewarnai Indonesia dengan ide-ide kreatif.
Indonesia memang membutuhkan ahli matematika, akuntansi ataupun fisika, tapi para seniman, penulis dan pelaku kreatif lainnya di negeri ini tidak bisa dikesampingkan peranannya dalam membangun negeri.
Di banyak negara, kemajuan teknologi sudah dijadikan penunjang kemajuan pendidikan.  Maka dari itu, akan lebih bijaksana jika pemerintah mengalihkan dana perbaikan kurikulum untuk pengadaan teknologi sebagai pendukung pelaksanaan sistem pendidikan.
Selain itu, dana tersebut juga dapat digunakan untuk pemerataan fasilitas pendidikan seperti perbaikan sekolah yang sampai sekarang masih sering ditemui sekolah dengan fasilitas kurang memadai.
Di sisi lain, mari melihat sistem pendidikan di New Zeland yang memilih untuk tidak menekan para pelajarnya dengan tugas dan ujian berlebihan.  Tugas rumah tentu baik jika sebagai pembantu belajar, namun jika berlebihan tugas sifatnya justru menekan.
Tertekannya para pelajar dengan tugas berlebih ini tidak bisa dianggap remeh karena sangat besar kemungkinannya membuat para pelajar malas bahkan benci datang ke sekolah.
Perbaikan disana-sini pasti membutuhkan waktu, namun sesuatu yang besar tentu selalu bermula dari mimpi kemudian dilanjutkan dengan aktualisasi hingga terwujudnya mimpi itu sendiri.
Jika pemerintah mulai menghargai proses belajar, menambah materi pendidikan karakter dan materi kreatif, mengedepankan kemajuan tekhnologi, memperhatikan pemerataan fasilitas sekolah dan memberi perhatian terhadap psikologis pelajar Indonesia.  Bukan tidak mungkin dalam lima belas hingga dua puluh tahun ke depan Indonesia sudah memiliki generasi muda yang terdidik dan berkualitas, yaitu generasi yang tidak hanya cerdas tapi juga berkarakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar