Oleh: Melisa Febriana Panjaitan, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu negara, termasuk Indonesia.
Karena itulah sistem
pendidikan di Indonesia terus mengalami perbaikan demi perbaikan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini tentu saja
dilakukan demi terwujudnya mimpi Indonesia memiliki generasi penerus
bangsa berkualitas yang menjadi pembangun masa depan negeri ini.
Para orangtuapun kini sadar betul pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Tidak
cukup hingga di bangku sekolah menengah atas, hampir semua orangtua
masa kini menginginkan anaknya mengenyam pendidikan hingga ke jenjang
yang tinggi. Ya, pendidikan memang sangat penting bagi kemajuan setiap
individu maupun suatu bangsa itu sendiri. Namun pertanyaannya, apakah
usaha pemerintah dan para orangtua tersebut sudah mampu menghasilkan
individu terdidik yang berkualitas?
Seperti yang dikutip dari
dikti.go.id, sistem pendidikan di Indonesia telah berubah sebanyak
kurang lebih tiga kali sejak tahun 1947. Perubahan sistem pendidikan ini terkait dengan perubahan materi belajar, peningkatan kualitas guru dan perubahan sistem kelulusan.
Pada
tahun 2004, pemerintah menetapkan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
kemudian berganti nama menjadi Ujian Nasional (UN) untuk menentukan
lulus atau tidaknya seorang pelajar dengan standar nilai kelulusan yang
telah ditetapkan sebagai pengukurnya.
Tidak sedikit yang merasa
sistem seperti ini kurang tepat karena kelulusan seorang siswa hanya
didasarkan pada satu aspek saja. Padahal proses selama belajar mengajar
merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan pengaruhnya dalam menilai
kelulusan seorang pelajar.
Masih teringat jelas ketika Alex
Arida juara olimpiade fisika atau Dwi Astuti yang meraih perungu pada
olimpiade nasional bidang ekonomi yang harus tunduk pada sistem
pendidikan Indonesia dan dinyatakan tidak lulus UN. Mereka berdua dapat
dijadikan contoh betapa gegabahnya sistem pendidikan yang hanya menilai
dari hasil tanpa mempertimbangkan proses.
Melihat dari usaha
pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini sendiri tidak
lepas dari segala carut marut di dalamnya. Dari UN saja, kerumitan
mulai terjadi ketika pembuatan hingga distribusi soal ujian.
Belum
lagi ancaman kebocoran soal dan oknum-oknum yang menjual soal UN.
Bahkan dalam tiap pelaksanaannya beberapa sekolah harus menunda UN
karena distribusi yang terlambat. Semua kerumitan di awal ini belum
termasuk ujian ulang yang harus diadakan lagi oleh pemerintah untuk
ratusan pelajar yang tidak lulus UN.
Perbaikan sistem kurikulum
juga dapat dikatakan tidak pernah lepas dari kerumitan dalam pelaksanaan
maupun pengaplikasiannya. Padahal, anggaran yang disediakan untuk
perbaikan kurikulum pendidikan dapat mencapai milyaran rupiah.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa semua usaha pemerintah ini belum
berhasil membuat perubahan signifikan dalam pendidikan Indonesia.
Sistem pendidikan Indonesia sendiri dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang begitu mendewakan kemampuan hard skill
atau yang sifatnya akademis. Hampir seluruh sekolah di penjuru negeri
ini memiliki materi pelajaran yang sama yang diajarkan di kelas yaitu
materi yang sifatnya akademis dan sedikit sekali materi yang sifatnya soft skill.
Padahal soft skill atau pendidikan karakter sangat penting dimiliki oleh setiap individu dan akan lebih baik jika diajarkan sedini mungkin. Soft skill tidak bisa diremehkan karena erat kaitannya dengan moral bahkan kesehatan fisik dan rohani anak di masa depan.
Hard skill yang tidak diimbangi dengan soft skill
dapat menghasilkan efek merusak baik bagi individu itu sendiri maupun
orang lain. Para koruptor di kalangan wakil rakyat dan pangusaha
perusak lingkungan adalah contoh kecil individu terdidik (hard skill) yang tidak memiliki karakter (soft skill).
Tidak sadar pentingnya soft skill untuk berdampingan dengan hard skill
dalam mendidik ini hampir sama seperti tidak menyadari bahwa otak kanan
dan otak kiri mempunyai peran yang berbeda bagi setiap orang.
Materi
pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah setiap hari dapat
dikatakan hanya menggempur otak di bagian kiri yang berkaitan dengan
akademis, sedangkan otak bagian kanan yang menghasilkan ide-ide kreatif
harus tertidur lesu.
Memberbaiki sistem pendidikan yang kaku dan
rumit dari segala sisinya membuat kesan bahwa hal ini sudah tidak bisa
diperbaiki lagi. Namun, bukan berarti hal itu tidak bisa diperbaiki
lagi. Perbaikan secara berkala namun efektif adalah yang paling jitu
untuk memperbaiki sistem pendidikan Indonesia.
Pemerintah harus mulai memahami pentingnya pendidikan karakter (soft skill)
bagi para pelajar. Pemerintah tentu tidak ingin terus memproduksi para
penjabat atau wakil pemerintahan yang gila harta sehingga melakukan
korupsi atau para pengusaha yang pura-pura buta terhadap kerusakan yang
mereka timbulkan.
Selain itu, pentingnya menambah materi
pelajaran kreatif di sela-sela materi reguler yang telah ada menjadi
sangat penting sehingga setiap anak merasa mereka selalu memiliki
pilihan.
Jutaan pelajar di Indonesia tentu saja memiliki minat
yang berbeda-beda. Ini adalah saatnya otak kanan dibangunkan untuk
mewarnai Indonesia dengan ide-ide kreatif.
Indonesia memang
membutuhkan ahli matematika, akuntansi ataupun fisika, tapi para
seniman, penulis dan pelaku kreatif lainnya di negeri ini tidak bisa
dikesampingkan peranannya dalam membangun negeri.
Di banyak
negara, kemajuan teknologi sudah dijadikan penunjang kemajuan
pendidikan. Maka dari itu, akan lebih bijaksana jika pemerintah
mengalihkan dana perbaikan kurikulum untuk pengadaan teknologi sebagai
pendukung pelaksanaan sistem pendidikan.
Selain itu, dana
tersebut juga dapat digunakan untuk pemerataan fasilitas pendidikan
seperti perbaikan sekolah yang sampai sekarang masih sering ditemui
sekolah dengan fasilitas kurang memadai.
Di sisi lain, mari melihat sistem pendidikan di New Zeland
yang memilih untuk tidak menekan para pelajarnya dengan tugas dan ujian
berlebihan. Tugas rumah tentu baik jika sebagai pembantu belajar,
namun jika berlebihan tugas sifatnya justru menekan.
Tertekannya
para pelajar dengan tugas berlebih ini tidak bisa dianggap remeh karena
sangat besar kemungkinannya membuat para pelajar malas bahkan benci
datang ke sekolah.
Perbaikan disana-sini pasti membutuhkan waktu,
namun sesuatu yang besar tentu selalu bermula dari mimpi kemudian
dilanjutkan dengan aktualisasi hingga terwujudnya mimpi itu sendiri.
Jika
pemerintah mulai menghargai proses belajar, menambah materi pendidikan
karakter dan materi kreatif, mengedepankan kemajuan tekhnologi,
memperhatikan pemerataan fasilitas sekolah dan memberi perhatian
terhadap psikologis pelajar Indonesia. Bukan tidak mungkin dalam lima
belas hingga dua puluh tahun ke depan Indonesia sudah memiliki generasi
muda yang terdidik dan berkualitas, yaitu generasi yang tidak hanya cerdas tapi juga berkarakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar